“Whoever controls the media, controls the
mind”--Jim Morrison
Benar apa yang dikatakan oleh Jim Morrison bahwa
mengontrol media sama halnya dengan mengendalikan pikiran massa. Sudah
menjadi rahasia publik bahwa media merupakan salah satu alat perpanjangan
tangan penguasa (baca: pemilik modal dan negara) untuk mempertahankan status
quo. Konsep hegemoni dalam masyarakat modern adalah bagaimana kelompok
dominan dapat memainkan pengaruhnya melalui penguasaan terhadap media dan
kontrol informasi demi mempertahankan dominasi itu sendiri.
Ketika upaya mempengaruhi pikiran dianggap butuh proses
yang tidak sebentar, tindakan yang lebih ekstrim dilakukan dengan cara menghilangkan
kebebasan pers. Di Indonesia,
Orde
Baru menjadi gambaran bagaimana kekuasaan negara mengatur informasi-informasi
di media dan menjadikannya alat propaganda bertema pembangunan nasional ala
Soeharto saat itu, termasuk dengan aksi pembredelan sejumlah media yang
terlalu “berani”.
Di era reformasi ketika pers tak lagi dibungkam, tak
asing bila media juga menjadi sarana bagi orang-orang yang
ingin duduk di tampuk kekuasaan. Tengoklah bagaimana menjelang pemilihan umum
para calon kandidat berlomba membuat medianya masing-masing, yang tentu saja informasinya mengandung keberpihakan bagi kandidat itu sendiri.
Ini bisa menjadi langkah yang tepat untuk menjaring dukungan, tapi belum tentu
kiat ini berhasil semulus harapan, karena mau dipoles semulus apapun,
penguasaan terhadap media tak akan mampu menyelamatkan koreng yang kadung
tercium oleh massa, terutama ketika mesti berhadapan dengan rival politik yang
juga menggunakan media lain sebagai penguak koreng tersebut.
Media dan Jalan Menuju Kejayaan
Memilih
media yang tepat telah dibuktikan beberapa waktu lalu oleh Barrack Obama yang
terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat untuk kedua kalinya.Selain kekuatan
figur yang dimilikinya, kemenangan ini juga berkat dukungan penuh advokasi
email, layanan pesan singkat, dan video yang tersebar secara online. Obama
berhasil mengintegrasikan teknologi informasi ke dalam seluruh kampanyenya demi
menggalang dana dan pendukung dari media-media sosial. Wajar saja, setidaknya akun
twitter @BarackObama mempunyai lebih dari 22 juta followers, dan facebook Obama
memiliki 32 juta fans. Belum lagi ribuan simpatisan yang mendukungnya dalam
bentuk web dan blog.
Kemenangan
Obama menjadi cermin bagaimana media digital—internet sekaligus perangkat
pengaksesnya—mampu mengubah hal-hal tak terduga dalam waktu sekejap seperti
yang dialami oleh Briptu Norman Kamaru, Sinta dan Jojo, Justin Bieber, dan
wabah Gangnam Style. Hal ini sangat masuk akal terutama melihat hasil pantauan
gelombang statistik perusahaan monitoring internet Royal Pingdom, bahwa
sepanjang tahun 2012 jumlah pengguna internet di dunia mencapai 2,4 miliar
termasuk 4 miliar jam video yang ditonton di YouTube setiap bulan, dan 1,2
triliun penggunaan pada mesin pencari Google.
Bayangkan,
seumpama facebook adalah sebuah negara, saat ini jumlah penghuni negara
facebook menyaingi India sebagai negara kedua terpadat di dunia.Bahkan pada
Oktober 2012, CEO Facebook Mark Zuckerberg menyebut bahwa ada lebih dari 1
miliar orang di dunia yang menggunakan Facebook secara aktif setiap bulannya. Pengguna
facebook di Indonesia menempati urutan ke empat dunia dengan jumlah mencapai 51
juta user. Dan, menurut data perkiraan Business Measurement Intelegence, jumlah
pengguna internet akan mencapai 167,5 juta pada tahun 2015 mendatang.
Melihat
angka-angka di atas, muncul pertanyaan, mungkinkah media-media lain terutama
media cetak mampu bersaing melawan kemajuan teknologi informasi yang semakin
hari kian unggul dengan kecepatan penginformasian dan jangkauannya yang luas?
Tumbangnya
Raksasa-Raksasa Media Cetak
Prediksi
Philip Meyer, peneliti bidang jurnalisme yang tertuang dalam The Vanishing
Newspaper 2005 silam bahwa media cetak akan mati pada tahun 2042 ternyata salah
besar. Hanya berkalang 2 tahun kemudian, koran The Sun Inggris ambruk.
Ironisnya, koran ini milik Rupert Murdoch, konglomerat media yang berasumsi bahwa umur media cetak bisa
diperpanjang apabila memberikan perhatian pada kebutuhan masyarakat khususnya
anak muda. Kenapa demikian? Karena ternyata faktanya segmen pasar menjadi urutan
kesekian setelah perkembangan spektakuler teknologi digital.
The
Sun hanya satu dari sekian banyak media cetak yang bertumbangan di antara
sederet nama besar media seperti halnya di Amerika Serikat seperti Chicago
Tribune, Los Angeles Time,The Rocky Mountain News, Seattle Post Intelegencier,
Philladephia Inquiry, Kentucky Post, San Juan Star dan masih banyak lagi. Bahkan, majalah ternama Newsweek yang
menjadi penguasa berita cetak dalam kurun 80 tahun pun tak luput dari tragedi
ini, seperti halnya Reader’s Digest majalah berkonten features berusia 91
tahun. The New York Times terpaksa juga harus
menjual 16 koran terbitannya untuk mengkonversi media cetak yang selama ini
dilakoni, menjadi media berbasis on-line.
Kondisi
ini menular ke bisnis media cetak di beberapa negara maju. Baru-baru ini salah
satu media cetak besar Jerman Financial Times Deutschland berhenti terbit, yang
disusul oleh harian Berliner Zeitung.
Di
Indonesia hal serupa juga terjadi. Meski
tidak mati secara mutlak, stagnasi menjamah media cetak di Indonesia.Dulu
banyak asumsi yang menyatakan bahwa kelesuan industri media cetak disebabkan
oleh minat baca dan daya beli masyarakat Indonesia yang rendah. Kalangan menengah ke bawah yang
populasinya lebih dominan, diduga lebih berselera pada pemberitaan berbau
mistis dan kriminil. Tapi praduga itu meleset. Nyatanya
kalangan ini lebih menyuka dunia tontonan, bahkan kalangan
atas sekalipun.
Ini pula lah yang meroketkan industri pertelevisian dan melahirkan kompetitor
baru di rimba permediaan.
Jelang
akhir tahun 2012, sebuah riset berhasil memetakan persaingan radio, televisi
dan media lain di Indonesia. Riset yang dipublikasikan oleh Voice of America
siaran Bahasa Indonesia ini menaksir pola konsumsi media di Indonesia yang
dilakukan oleh Broadcasting Board of Governors, yakni sebuah badan yang
menaungi lembaga-lembaga penyiaran internasional milik Amerika dan perusahaan
riset Gallup.
Salah satu hasil riset tersebut
menyatakan bahwa televisi masih menjadi media yang dominan di Indonesia, dimana
95,9 persen orang dewasa Indonesia menggunakan media ini untuk mendapatkan
berita. Dibandingkan dengan media lain, 87 persen penduduk Indonesia
menggunakan TV untuk mendapatkan berita, 36 persen melalui layanan pesan
singkat atau SMS, 11 persen memperoleh informasi dari radio, dan hanya 7 persen
yang masih menggunakan koran atau majalah untuk mendapatkan berita. Jika pada
2010 sebanyak 50 persen penduduk Indonesia mendengarkan radio untuk mendapatkan
berita, angka tersebut terjun bebas menjadi 31 persen
pada 2011 dan terus merosot tinggal 24 persen saja pada tahun 2012.
Sebab-Sebab
Kejatuhan Media Cetak
Ada beberapa penyebab sulitnya media cetak
mengarungi persaingan dengan media digital. Pertama adalah
akses cepat pembaca dengan informasi. Hangat tidaknya sebuah berita
tidak lagi dilihat dari jam berapa media cetak sampai di tangan pembacanya.
Kini, di media on-line, pewarta tidak
perlu lagi mengejar deadline cetak,
karena berita bisa langsung diunggah bahkan di tempat sebuah peristiwa berlangsung.
Demikian halnya dengan televisi yang bisa menyiarkan sebuah peristiwa secara
langsung dari lokasi kejadian.
Kedua, yakni batas halaman. Sebuah media on-line
cenderung memiliki jumlah halaman yang lebih luas dari media cetak. Hal ini
memberikan pembaca untuk melihat sebuah peristiwa dari berbagai sudut pandang
dalam sebuah media yang sama.
Biaya merupakan faktor ketiga. Bila
dalam media cetak dibutuhkan banyak tenaga kerja, pada media on-line hal
ini tidak lagi diperlukan. Selain biaya karyawan, sebuah media cetak harus
mengeluarkan biaya produksi dan distribusi yang tidak sedikit, terutama ini
menyangkut penggunaan kayu sebagai bahan baku kertas yang semakin langka.
Faktor keempat adalah porsi
iklan. Pemasang
iklan kini banyak yang beralih ke media on-line.Selain lebih
murah (bila dibanding teknologi digital semisal televisi), para pengiklan juga
melihat luasnya jangkauan internet dan jumlah pengguna yang cenderung meningkat
tanpa terlalu mengenal waktu.
Pengarsipan menjadi faktor berikutnya. Seorang pelanggan
tentu kesulitan menyimpan kliping berita-berita tertentu. Atau sulit untuk
mencari kembali berita dalam tumpukan koran-koran di gudang.
Terakhir adalah fleksibilitas.Media
on-line
nyaris bisa diakses kapanpun dan dimanapun terutama ketika teknologi berbasis dekstop kini telah berganti menjadi gadget bergerak, merujuk pantauan Royal
Pingdom yaitu 1,3 miliar smartphone yang digunakan di seluruh dunia pada akhir
2012, dan Indonesia sebanyak 12 juta pengguna.
Ketika
Setiap Orang Menjadi Pengelola Media
Kehadiran internet yang jauh lebih murah, mudah
dan aktual menjadikannya
kompetitior handal. Kalaupun
mesti menyewa jasa warung internet, biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 3 ribu
per jam sudah dapat mengakses beberapa situs dan portal berita. Bandingkan
dengan harga satu eksemplar koran, atau bahkan majalah yang jauh lebih mahal.
Mau
tidak mau, suka ataupun tidak, industri media cetak harus menjawab tantangan
zaman ini dengan mengkonversi bentuk cetak ke bentuk digital. Kompas sebagai salah satu media cetak
terbesar di Indonesia telah melakukan strategi ini. Dan
mereka telah membuktikan setidaknya setiap bulan situs Kompas.com dikunjungi 66
juta kali, sementara page-view
mencapai hampir 200 juta kali. Sebuah rekor yang sulit ditempuh dengan metode
konvensional.
Meski
demikian, kelemahan dari media online adalah mempertahankan kesetiaan
pengunjung web. Dengan kata lain, terjun ke dalam dunia maya berarti harus
berhadapan dengan sekian banyak pesaing. Apalagi kini siapapun bisa membuat
medianya sendiri baik berbayar (membeli domain dan menyewa hosting) maupun yang
gratisan seumpama blogger atau wordpress.
Blog diunggulkan dengan kemampuannya
menggabungkan atau konvergensi banyak fungsi pada satu tampilan. Pada laman
yang sama kita dapat menjumpai fitur video, audio, teks, foto dan sebagainya
yang saling melengkapi atau bahkan berdiri sendiri-sendiri.Melalui sebuah blog,
pengguna internet dapat memediakan baik itu catatan personal, iklan usaha
rumahan, reportase amatir bahkan profesional, tanpa harus mampu menguasai
teknologi tingkat tinggi. Dalam
blog pula lah terjalin interaksi langsung antara penulis dengan pembaca. Pengunjung atau pembaca blog dapat
meninggalkan komentar, kritik hingga saling memperkenalkan blog-nya
masing-masing. Keluwesan ini menjadi keunggulan yang
tidak didapat di media-media umum. Ketika setiap orang telah membuatnya
medianya sendiri dan saling bertukar informasi secara gratis satu sama lain
seperti ini, mungkin suatu hari nanti, istilah “Penguasa media adalah penguasa
dunia,” akan menjadi pepatah usang yang menggelikan.
Teks: Dewa Made Karang