Eksplorasi Pameran Lukisan The Two Faces of Eliza Dewi
“Hasrat terpendam manusia terekam di alam
bawah sadar”—Sigmund Freud
Keluar dari Kemapanan
Suatu hari, anak tertua saya menanyakan perihal siapa itu seniman.
Dengan malas, saya beritahu padanya, bahwa siapapun adalah seniman. Ada sedikit
penyesalan karena tidak mendapati jawaban sederhana atas pertanyaan anak
sekecil itu.
Entah bagaimana bermula, terma seniman muncul sebagai
pemisah antara mereka yang menciptakan sesuatu dan bukan sesuatu. Bila saya
jelaskan dari sisi ini, cenderung anak saya akan kembali bertanya, apa bedanya
seniman ukir dan pengrajin, apa bedanya pelukis dengan tukang cat, patung dan
meja sekolah, gitar dan pemain gitar. Kemudian
bila saja saya terangkan bahwa yang membedakan keduanya adalah motif ekonomi di
balik semua itu, dada saya semakin sesak. Bahwa seniman tidak mencari uang?
Saya sudah pasti berbohong—dan
ngeri. Takut sewaktu-waktu anak saya berpendapat bahwa berarti seniman dan yang
bukan seniman itu sama saja; sama-sama kuli.
Dunia pasar menciptakan arus yang meraksasa sedemikian
besarnya. Prestisenya sudah beredar di ruang bangsawan berabad lampau. Lukisan
dan teater hanya untuk dan milik kaum intelektual yang berpunya. Mereka begitu
kuasa membangun tirani nilai yang diyakini masyarakat, termasuk membuat sebuah
keharusan dan kepatuhan, mengenai buruk-baiknya sebuah karya seni.
Para perakit surealisme adalah mereka yang mencoba keluar
dari jajahan estetika yang dikonsep oleh kerajaan nilai; menata alat, ide, teknik,
corak dan bentuk, menjadi kelumrahan yang tertatan. Kaum surealis mencoba
mereduksi kepemilikan seni dari kaum intelektual—yang
lekat dengan klas borjuis serta terlembagakan, membongkar tatanan berupa
keseragaman selera dalam seni itu sendiri. Seni milik siapapun, demikian suatu
ketika Andy Warhol—tokoh avant
garde berujar.
Kalangan surealis acapkali lupa bahwa ada unsur—selain asosiasi bebas—yang menjadi pijakan para
pendahulunya, yakni ketidakberpihakan pada borjuasi. Faktanya, di negeri yang
kecil apresiasi terhadap kesenian ini, hal itu nyaris muskil dilakukan.
Kepungan kebutuhan hidup harian, perizinan yang rumit, serta sewa gedung yang
menyesakkan dada, menjadi media kompromi bagi arus dan pelawan arus.
Saya menduga, sepinya penganut surealisme di kalangan ‘seniman’masa kini, karena mungkin mereka yang mendaku dirinya ‘seniman’ masih terpasung oleh persepsi, bahwasanya sebuah karya
seni hanya diapresiasi oleh kalangan yang itu-itu saja, kalaupun ada segelintir
khalayak yang ‘memberanikan
diri’ mendatangi sebuah ajang
kesenian, adalah mereka yang kaya gengsi namun buta akan karya seni atau tidak
memiliki intelektualitas untuk menilai sebuah karya se-absurd surealis. Atau
dengan kata lain, seperti ketika kita bertanya pada seorang‘awam’; mana yang lebih bagus, lukisan yang mirip dengan objek
aslinya, atau lukisan piring yang pecah berantakan di langit.
Persepsi ini semakin memenjara pencipta karya. Kehausan akan
apresiasi mengeringkan imajinasi karena berkarya bukan lagi mengenai kebebasan
berkreasi individual, melainkan pesanan estetika. Melahirkan ketakutan untuk
mencoba sesuatu yang baru. Senada dengan psikoanalisis Sigmund Freud, kemasifan
karya akan lahir dari ide-ide yang merdeka, yang berada diceruk alam bawah
sadar dan tidak lagi memusingkan besar kecilnya apresiasi, lebih-lebih daya
jual karya. Apa lantas ketertundukan itu berbuah laris manis? Tidak juga
ternyata.
Ketidaksenian dalam Seni
Eliza, pelukis Kota Palembang yang karyanya saya jumpai
dalam pameran tunggalnya beberapa waktu lalu, menghembuskan gejala surealisme
pada beberapa karyanya. Ia melukis hal-hal di luar kebiasaan sehari-hari. Mari
kita tidak membahas persoalan pilihan ideologi pada karya-karyanya. Faktanya,
beberapa karyanya berhasil membangun visual yang menteror keingintahuan saya.
Tidak semua karya Eliza berona surealis. Inilah uniknya. Ia
tidak mengikat diri pada suatu genre. Melukis apapun yang ia suka. Terlebih,
tidak semua dikerjakan dengan kuas. Tangan telanjang dan kayu membantunya
menyelesaikan beberapa karya. Ada benang merah yang menghubungkan antara
keliaran ide, pendayagunaan pikiran, indera, dan pencapaian artistik pribadi.
Dengan keluar dari kelumrahan lah ketiganya bisa dicapai oleh Eliza. Meski untuk
itu harus melalui pergumulan absurditas dan alam mimpi.
Pada karya bertitel “Me”, ada sosok berayun di sepotong
senja. Ada magis yang terasa dan memancing keingintahuan yang ambigu, ketika kasat terlihat garis-garis yang tidak
memisahkan antara objek dan subjek, ayunan dan sosok itu sendiri. Sosok hitam berayun-ayun di kejauhan, terpapar matahari petang. Garis antara objek dan subjek berupa ayunan, gamblang terlihat. Mengingatkan saya pada kisah masa kecil tentang demon yang menyerupa perempuan dengan punggung berlubang. Kemisteriusan
juga terasa pada “Untitled”. Satu sosok membelakangi sosok
satunya, yang berkepala dua atau malah...terputus.
![]() |
"Untitled", salah satu karya Eliza Dewi yang menawarkan ambiguitas persepsi |
Sebetulnya saya tak lagi perlu terkejut mendapati kejarangan
karya-karya surealis di ranah perkotaan. Juga tak perlu takjub ketika
kejarangan itu tiba-tiba menjumpai saya di sebuah ruang yang selama ini dikepung
oleh karya realis dan naturalis. Karena memang, keseragaman terkadang—kalau tak bisa disebut selalu—dibentuk oleh keinginan mendapatkan
pengakuan, dengan menceburkan segenap diri ke dalam kompetisi karya
bermirip-mirip ria. Karenanya, saya setengah skeptis karya-karya Eliza laku
terjual dengan harga yang terbilang tidak murah untuk ukuran lukisan surealis
di Kota Palembang yang sepi peminat.
Ketika kaum antiseni berupaya mendobrak status quo seni dari
isme sebelumnya—yang bertengger
dengan kejayaan estetika—dengan
imajinasi menjadi kewajaran karena mereka telah menyelami aliran-aliran terdahulu,
maka begitu seorang gadis kecil seperti Eliza—yang
belum bahkan mungkin tidak ambil pusing dengan sistemasi borjuasi—mengaplikasikan imajinasi ke
dalam lukisan bukan karena demi pengakuan estetika, berapa karya yang terjual, atau
tanpa upaya keluar dari nilai-nilai lama seperti apa yang dicita-citakan oleh
penggagas surealisme, justru inilah sejatinya surealis.
Ia menikmati esensi subjektif tanpa suara, keluar dari
kelaziman umum yang tipikal, membiarkan dirinya menjadi arus baru yang tidak
kaku. Menikmati peneluran karyanya yang penuh keberanian tanpa tendensi dan ekspektasi apapun. Karya-karya imajinatifnya yang ganjil dan bersisian dengan alam mimpi, sangatlah logis, mengingat dalam hidup harian kita, yang logis pun terkadang tidak dapat diterima oleh akal. Ia membiarkan saja naga-naga raksasa realis yang bebal itu tetap kukuh bertahan
dalam kelembagaan, dengan keangkuhan—yang
belum apa-apa bagi penguasa arus yang mereka diami. Dan astaga, tanpa perlu
berangkuh-angkuh, sudah beberapa karyanya yang terjual hari itu.
Teks : Dewa Made Karang