Review Film Pendek Wan An
Dulu sekali, seorang teman berujar pada saya; “Semoga
Tuhan menutup usia kita, sebelum menjadi tua dan menyebalkan.”
Ada banyak cara mengatasi
kebosanan yang dilakukan para manula di dunia modern yang barangkali juga
sering Anda lihat. Tji dan Ing, yang digambarkan dalam film Wan An sebagai dua
sejoli yang hidup berdua saja, punya cara subtil sendiri dalam mengatasi rasa
bosan itu.
Tji dan Ing adalah figur
orang-orang tua yang mengurung diri dalam aktivitas berulang. Sejak pagi
bermula hingga waktu tidur tiba, nyaris tak ada perkutatan lain yang mereka
jabani selain bangun pagi, ritual sarapan dan minum teh lalu mengurus rumah.
Hiburannya? Bukan lain saluran tv kabel dan permainan mahjong.
Drama dibuka di sebuah pagi
ketika Ing, yang diperani oleh Maria Oentoe, beranjak dari ranjangnya sembari
tersenyum-senyum sendiri yang nampak tanpa sebab. Tidak ada harapan dalam
senyum itu, tidak juga kepuasan dalam bentuk apapun. Datar.
![]() |
Salah satu adegan dalam film, bagaimana sepasang manula melewati hari-harinya, lalu membicarakan kematian |
Teka-teki ini terpecahkan manakala
Ing menyatakan kekhawatirannya pada kematian yang mengintai dibalik tidur sang
suami. Mendapati tubuh yang telah menemani lebih dari separuh hidup dalam
kondisi tak bernyawa tentu sebuah tragedi. Lebih-lebih itu terjadi persis di
sampingnya. Inilah makna senyum dari Ing di setiap pagi. Lega ia mendapati si
suami ternyata masih menemaninya melewati hari yang menjemukan.
Tidak ada yang dapat menghalangi
kematian datang, demikian mungkin yang berada di pikiran Tji, sehingga tidak begitu
peduli pada kecemasan Ing. Bisa jadi, bagi Tji menjalani masa tua jauh lebih
menakutkan daripada kematian itu sendiri.
Kejutan tak terduga pun datang.
Suatu pagi yang janggal,—tidak
seperti kebiasaan kebanyakan orang-orang yang baru terbangun dari tidurnya yang
bermalas-malasan di tempat tidur, menguap-nguap membuang kantuk yang bersisa
atau melamun kosong—Tji mendapati
istrinya tak lagi mengembuskan napas. Entah apa karena terlalu lama hidup
bersama sehingga Tji refleks mengetahui kematian istrinya, apapun itu, ia lantas
tersedu-sedu. Mungkin, sebagian penonton merasa shock melihat kematian Ing, dan merasa lega begitu Ing ternyata
hidup kembali. Tapi, mungkin tidak berlaku bagi sebagian yang sudah merasakan
kejanggalan yang saya sebut barusan, sehingga tidak ada rasa haru seperti
halnya ketika menonton genre drama sejenis.
Akting kuat Hengky Solaiman yang
memerankan tokoh Tji, berhasil menyelamatkan humor yang disisipkan sang
sutradara Yandi Laurens melalui serentetan kengambekan Tji atas aksi istrinya
yang berpura-pura mati. Terutama, ekspresi wajah Tji ketika harus mencuci
sendiri pakaiannya.
Ketika kejutan pertama dilakukan
Yandi Laurens melalui kematian Ing dianggap berhasil, sang sutradara muda ini kembali
mencoba memberi kejutan yang sayangnya mudah sekali ditebak. Kini gantian Ing
yang mendapati Tji tak bernapas karena serangan jantung, yang ternyata juga
sebuah kepura-puraan. Dan gantian pula ia yang mengambek. Adegan selanjutnya
berupa pengulangan-pengulangan serupa yang begitu datar.
Kejutan ketiga kembali
dihadirkan. Pagi itu, tidak ada aktivitas rutin seperti biasanya. Kompor tidak
dinyalakan. Cangkir tak berisi teh. Tidak ada permainan mahjong menyambut
petang. Yang ada, hari itu berselabut angst.
Tji dan Ing terbujur di ranjang tanpa gerak. Siang, pagi, malam, hingga
kemudian kembali memasuki pagi di hari kedua. Apakah cukup sampai di sini saja
film itu? Nanti dulu. Layar hitam bukan
berarti akhir dari sebuah film. Tji bangun dari tidurnya, yang disusul oleh si
istri. Ternyata, selama 24 jam, Tji dan Ing mencoba saling mengelabui,
berpura-pura mati. Apa mungkin ada orang yang mampu menahan lapar, haus, buang
air, menahan gerak selama itu walau sekadar untuk menggaruk, menggeser kaki
agar tak kesemutan, hanya untuk bercanda? Entahlah. Tji dan Ing terbukti mampu
melakukan ketidakmungkinan itu. Salut.
Tji dan Ing merupakan refleksi
bagaimana kaum yang menyerah pada ketuaan memiliki cara sendiri untuk menghibur
diri, bahkan dengan menertawai kematian yang menjadi demon bagi sebagian dari
kita. Mereka terbiasa, dan terlanjur mencintai hidup yang datar. Kesendirian
para orang tua seperti ini menuntun kita untuk mempelajari kearifan bahwa bagaimana
mungkin sebegitu teganya kita sebagai anak menelantarkan orang tua ke dalam
kesendirian. Atau, bila kita lihat dari sisi sebagai orang tua, bagaimana
mempersiapkan diri menghadapi masa tua, apakah berserah diri atau tetap
berkutat mengerjakan sesuatu di luar konteks kepasrahan?
Mengatur
alur sebuah film pendek nampaknya memang lebih sulit ketimbang membuat film
panjang. Karena, sutradara harus mempertimbangkan bagaimana memasukan semua
gagasan dan mengatur ritme ke dalam durasi yang singkat. Dan dalam mengatur
ritme itu, Yandi Laurens cukup berhasil. Film ini juga menjadi bertenaga karena
memasukan pencampuran antara Bahasa Indonesia dan Mandarin, seperti keseharian
warga etnis Tionghoa di Indonesia. Sehingga tidak ada kesan lebay. Aksen Mandarin para pemeran yang
cakap menutupi dialog aktor dalam film yang kurang luwes. Pemilihan tata cahaya
dalam film juga sangat baik. Menampilkan pancaran sinar matahari di beberapa
ruang sangat tepat, ketika dipadukan dengan tata ruang yang didekorasi untuk mewakili
kesederhanaan pasangan ini.
Bagaimanapun, beberapa “kesalahan” kecil di film ini termasuk cropping scratch di menit kedua, tetap berhasil menuai pujian
khalayak. Terbukti Wan An meraih trible winner di ajang XXI Film Festival 2013
sebagai film pendek naratif terbaik, film pendek naratif pilihan media, dan
film pendek favorit pilihan penonton. Menurut saya, letak sukses Yandi Laurens adalah
berhasil membuat bosan penonton. Ya, menonton rangkuman rutinitas berulang di
masa tua yang dilakoni sejoli Ing dan Tji dalam film berdurasi 20 menit ini saja
sudah cukup membosankan. Tak terbayangkan seandainya itu betul-betul terjadi
dan menimpa saya di masa mendatang. Dan jikapun iya, semoga doa teman saya di
awal tulisan ini menjadi bahan pertimbangan yang kuasa.
Sutradara :
Yandi Laurens
Produser :
Alverna Sani D
Produksi :
Program Film & TV S-1, Fakultas Film dan Televisi,
Institut Kesenian Jakarta 2012
Pemeran :
Hengky Solaiman, Maria Oentoe, Ferdinandus Suryono
Teks: Dewa Made Karang
Foto: Google