![]() |
Oleh Junior Zamrud Pahalmas |
Banyak cerita oleh siapapun yang pernah merasakan cinta,
bahwa cinta itu sendiri sangatlah ajaib untuk dapat dicerna. Beragam
kompleksitas dalam memahami cinta adalah bagian dari bagaimana hidup itu diwarnai
dengan tinta yang bermacam rupa. Tentu jatuh cinta itu tidaklah biasa-biasa
saja. Perasaan akan menjadi lebih baik dengan kehadiran cinta itu ada, ataupun
sebaliknya. Hingga sesampainya fase menjalani sisa-sisa hidup dalam berumah
tangga, membangun keluarga lalu lenyap dimakan usia. Ada pasanganmu yang akan
terus mendampingi naik-turunnya persoalan hidup. Mencintai pasanganmu adalah
bagian terbaik dalam cerita panjang yang pernah tertorehkan, bukan?
Wacana mengenai cinta terhadap pasangan ini tidak
membenarkan secara sepihak bahwa hidup dalam berpasangan adalah pilihan yang
paripurna. Membingkai dalam berpasangan tidak juga harus berlawanan jenis.
Berpasangan dapat ditempuh melalui sesama jenis, atau bahkan menghapus segala
unsur yang bersifat binary dalam
jenis kelamin (queer), misalnya
laki-laki dan perempuan, maskulin dan feminin, serta lain sebagainya. Siapapun
itu, pilihan terbaik adalah apa yang ia ketahuai untuk hidupnya sendiri.
Berpasangan sangat korelatif dengan hubungan yang dijalin. Dalam kamus Longman, hubungan (relantionship) adalah cara dua orang atau dua kelompok merasakan satu dengan lainnya dan cara mereka bertingkah laku satu dengan lainnya.[1] Hubungan dapat berubah dan berkembang sesuai bagaimana ia dijalani oleh pasangan itu sendiri yang berangkat dari keterlibatan individu dalam hubungan tersebut. Perubahan yang terjadi bisa berpola dramatis dan berpengaruh terhadap jalinan hubungan. Hubungan terdiri atas pola-pola interaksi (interactional patterns), yaitu perilaku yang saling memberi tanggapan yang bersifat sangat dinamis.[2] Hubungan yang terjalin dalam jangka panjang memiliki pola-pola interaksi yang terbentuk relatif stabil, namun keberadaan peristiwa yang terjadi dapat menimbulkan keadaan yang tidak dapat diukur. Kualitas hubungan yang terjalin menggambarkan sifat hubungan seperti apa dan bagaimana alurnya. Menyadari posisi egaliter pada hari ini tidaklah bias dimata umum untuk menjalani hubungan yang diharapkan dalam berpasangan, namun berbagai kualitas hubungan sangatlah terikat kuat dengan cara-cara berpikir pada individu-individu yang terlibat, yang mana diartikan sebagai skema, bersifat aktif berperan untuk mengontrol serta mengatur pola-pola hubungan stabil sepanjang waktu yang melibatkan satu sama lain.
Berpasangan sangat korelatif dengan hubungan yang dijalin. Dalam kamus Longman, hubungan (relantionship) adalah cara dua orang atau dua kelompok merasakan satu dengan lainnya dan cara mereka bertingkah laku satu dengan lainnya.[1] Hubungan dapat berubah dan berkembang sesuai bagaimana ia dijalani oleh pasangan itu sendiri yang berangkat dari keterlibatan individu dalam hubungan tersebut. Perubahan yang terjadi bisa berpola dramatis dan berpengaruh terhadap jalinan hubungan. Hubungan terdiri atas pola-pola interaksi (interactional patterns), yaitu perilaku yang saling memberi tanggapan yang bersifat sangat dinamis.[2] Hubungan yang terjalin dalam jangka panjang memiliki pola-pola interaksi yang terbentuk relatif stabil, namun keberadaan peristiwa yang terjadi dapat menimbulkan keadaan yang tidak dapat diukur. Kualitas hubungan yang terjalin menggambarkan sifat hubungan seperti apa dan bagaimana alurnya. Menyadari posisi egaliter pada hari ini tidaklah bias dimata umum untuk menjalani hubungan yang diharapkan dalam berpasangan, namun berbagai kualitas hubungan sangatlah terikat kuat dengan cara-cara berpikir pada individu-individu yang terlibat, yang mana diartikan sebagai skema, bersifat aktif berperan untuk mengontrol serta mengatur pola-pola hubungan stabil sepanjang waktu yang melibatkan satu sama lain.
Tantangan terbesar dalam menjalani hubungan
berpasangan dapat diterka melalui bagaimana mengelola perbedaan di antara
individunya. Mengenai keterbukaan, hal ini merupakan nilai inti untuk menjalin
hubungan stabil. Menariknya dalam hubungan adalah bernegosiasi topik-topik yang
dapat dibicarakan dan seberapa banyak informasi yang dapat ditukar. Topik ini
dapat berupa hal-hal apa yang bersifat pribadi (privacy) dan hal-hal apa saja yang bersifat terbuka (disclosure).[3] Sifat keterbukaan atau
yang tertutup merupakan manifestasi dari seusatu yang lebih besar, yaitu adanya
perbedaan.
Perbedaan inilah yang kemudian menjadi sebab-musabab
hadirnya hubungan tidak stabil dalam pengelolaannya. Adanya kekuatan-kekuatan
yang saling bertentangan dalam diri individu yang menjalin hubungan berpasangan
melahirkan pertanyaan untuk mengubah situasi atau malah membiarkan situasi apa
adanya. Mengelola perbedaan dan persamaan ini menjadi topik relatif. Mengubah
situasi juga multitafsir, merubah dalam keadaan baik maupun buruk. Perubahan
ini bergantung pada sikap yang tanggap akan keputusan, misalnya melakukan
kekerasaan terhadap pasangan yang berkonotasi buruk.
Mencintai pasangan adalah lumrah dalam keadaan apapun.
Lalu ada pernyataan yang kemudian hadir dalam wacana cinta berpasangan. Ketika
cinta begitu kuat, sekuat itu pula kekerasan dapat hadir diantaranya.
Tindakan kekerasan dapat dinilai dari hal yang
bersifat verbal maupun non-verbal. Klasifikasi secara verbal dinilai sebagai tindakan
kekerasan terhadap pasangan melalui ucapan yang melecehkan keberadaan pasangan.
Perilaku ini didefinisikan sebagai tindakan yang berusaha mengontrol, mengatur,
menyebabkan rasa takut atau bahkan membuat ketergantugan pasangannya di dalam
suatu relasi hubungan. Kritikan pedas yang tajam, panggilan memalukan,
mengejek, membentak, membuat pemikiran bahwa pasanganlah yang bersalah, membuat
berbagai peraturan yang mengekang, hingga memberikan hukuman bila adanya
ketidaksepakatan. Bentuk ancaman dan intimidasi atau menyatakan akan melukai diri sendiri juga
merupakan tindak kekerasan verbal.
Suatu kasus pun dapat dinilai tindakan kekerasan dalam
hubungan berpasangan jika memiliki tatapan atau gestur yang sinis, atau
menghancurkan benda sekitar, melarang berdandan sesuai yang diinginkan
pasangan, bahkan suatu perselingkuhan pun merupakan tindakan kekerasan terhadap
pasangan, yaitu menghancurkan kepercayaan dan melakukan kebohongan berencana.
Tidak perlu luka fisik untuk menjadi korban kekerasan dalam hubungan berpasangan
Ada banyak dampak buruk yang terjadi terhadap pasangan bila kekerasan terjadi
dan dialami olehnya sebagai korban.
Kekerasan secara non verbal dilakukan dengan adanya
kontak fisik yang menimbulkan luka kentara pada tubuh, berupa lebam akibat
tindakan dari memukul, menendang, mendorong, menampar, mencekik, melempar
benda-benda tumpul, mengancam dengan benda tajam atau mengabaikan kebutuhan
kesehatan pasangan. Munculnya perasaan tidak dihargai, mulai adanya rasa takut
yang berlebih dan malu ketika hadir ditengah muka keramaian karena mulai
hilangnya rasa percaya diri yang dialami korban akan menjadi dampak tidak sehat
bagi pasangan yang mengalami kekerasan dalam pasangan. Ada banyak bentuk dan
sikap kekerasan terhadap pasangan yang terjadi dalam hubungan relasi cinta ini.
Persoalan kekerasan secara verbal atau non verbal,
banyak kasus yang hampir dilupakan oleh pasangan yang menjalin hubungan dalam
membangun kepercayaan. Untuk dapat mempercayai pasanganmu bukanlah isapan
jempol belaka yang tidak hanya berlabuh pada kalimat mempercayaimu seutuhnya.
Sifat yang posesif juga dimaknai sebagai tindakan kekerasan, semisal memeriksa
telepon genggam pasangan tanpa sepengetahuannya. Sesampainya perilaku
ketidakpercayaan ini diketahui, dalil yang bermunculan pun mengarah pada rasa
cinta nan menggebu itu mencuat, “karena aku sangat mencitaimu.” Memilahlah
dalam memaknai cinta.
Kekerasan juga sangat mungkin terjadi dalam konteks
seksualitas Kata seksualistas berakar dari kata seks yang dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia mengartikan seks sebagai: jenis kelamin; hal yang berhubungan
dengan alat kelamin, seperti senggama; birahi. Seksualitas sendiri diartikan
sebagai ciri, sifat atau peranan seks; dorongan seks; kehidupan seks. Dimensi
yang menyangkut seksualitas sangatlah luas [4], antara lain: (1) seksualitas
dari dimensi biologis yang berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin,
termasuk bagian menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ
reproduksi dan dorongan seksual; (2) seksualitas dari dimensi psikologis erat
kaitannya dengan bagiamana menjalankan fungsi sebagai makhluk seksual,
identitas peran atau jenis, serta bagaimana dinamika aspek-aspek psikologis
(kognisi, emosi, motivasi, perilaku) terhadap seksualitas itu sendiri; (3)
seksualitas dari dimensi sosial, dimana seksualitas dilihat pada bagaimana
seksualitas muncul dalam hubungan antar manusia, bagaimana pengaruh lingkungan
dalam bentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya membetuk perilaku
seksual; dan (4) dimensi kultural, menunjukkan perilaku seks menjadi bagian
dari budaya yang ada di masyarakat. Pembahasan ini tidak mengarah pada tindakan
seksual dalam lingkup seks bebas, seks diluar nikah atau seks dibawah umur.
Kekerasan dalam konteks seksualitas terhadap pasangan dapat
hadir dalam bentuknya seperti meraba bagian tubuh tertentu tanpa kesepakatan,
memaksa melakukan persetubuhan, meminta untuk melihat bagian tubuh sensitif dan
lain sebagainya. Penilaian kekerasan ini terbentuk ketika semua aspek seksual
diatas dilakukan tanpa adanya kesepakatan bersama, walaupun dalam ikatan
pernikahan sekalipun. Jika hal ini masih terlaksana, konteksnya akan mengalir
pada tindak pemerkosaan. Legalnya ikatan pernikahan tidak memungkiri akan
terjadinya kekerasan dalam berpasangan, terlebih mengenai pembuktian sah dimata
hukum perihal urusan bersetubuh. Menolak saat keadaan diri yang letih untuk
melakukan hubungan seksual adalah mungkin tanpa tendensi merendahkan pasangan. Keseluruhan
ini adalah bagaimana cara berpasangan itu dapat menyalurkan peran komunikasinya
dengan sebaik mungkin.
Sejumlah faktor yang menjadi predisposisi perilaku kekerasan
dalam berpasangan dinilai terkait dari pengalaman masa lalu. Fenomena yang ada
menyampaikan pelaku kekerasan ini berangkat dari pengalaman kekerasan dalam
tahap kehidupan yang pernah dilalui sebelumnya, semisal kekerasan dalam
keluarga, teman, atau pasangan yang lalu-lalu. Ada beberapa karakter individu
yang turut menentukan munculnya perilaku kekerasan terhadap pasangan, semisal
adanya tendensi mudah mengalami depresi, stress, kelelahan, kontrol diri yang
rendah, atribusi eksternal, kurangnya rasa sabar, salahnya penyesuaian diri
yang emosional, cara menanggapi suatu hal yang negatif, dan lain sebagainya.[5]
Faktor lingkungan juga mendukung perilaku keseharian, dimana adanya lingkungan
yang mengedepankan permusuhan dan kurangnya bentuk dukungan sosial serta adanya
kompetisi yang tidak sehat dimana kekerasan merupakan predisposisi kuat untuk
menstimulasi munculnya perilaku kekerasan.
Ada banyak pelaku yang sadar atas kelirunya menanggapi
cara bersikap untuk memahami rasa cinta dalam muara kekerasan berpasangan.
Namun ada banyak pula tindak kekerasan yang terjadi berskala konstan, atau secara
tidak langsung akan hadir tanpa disadari. Kata kunci memahami hubungan
berpasangan yang dirasa sehat adalah memahami berbagai macam tindak kekerasan
yang ada dan ambil kebenaran itu dari realitas atas hubungan yang sedang
dijalani, posisikan didalam kesadaran yang penuh Kesadaran adalah ukuran riil
untuk menyatakan diri yang abstrak dalam mencintai pasangan. Jika
kemungkinan-kemungkinan itu mulai memudar, pelajarilah dengan seksama dan ambil
kesimpulan yang dibutuhkan. Berpisah bukanlah kiamat kecil jika itu pilihan
terbaik dalam memahami cinta.
Jika sekalipun memahami kekerasan adalah bagian dari
kebahagiaan walaupun hal ini dinilai intuitif serta begitu absurd oleh sebagian
pihak, salurkan rasa bahagia nan dirasa absurd ini pada pasanganmu melalui
jalur pembicaraan yang nyata dalam perspektif kepentingan bersama tanpa adanya
pengambilan keputusan satu arah. Dalam konteks seksual, ada banyak ragam persetubuhan
yang mengedepankan kekerasan. Tidak jarang hasrat pemuasan tak biasa ini
beranak-pinak dalam memenuhi tingkatan libido serba fluktuatif. Mencintai rasa
sakit adalah varian tindakan seksual yang menuju aksi sadomasokhis, yaitu
tindakan memberi atau menerima kenikmatan yang pada umumnya menyebabkan atau
menderita rasa sakit. Pelaku sadomasokhis mencari grafika seksual melalui
cara-cara menyakitkan dalam tingkatan orgasme. Istilah “sadis” dan “masokhis”
secara terpisah memiliki makna spesifik; yang apabila lebih menikmati perannya
sebagai pihak yang menyakiti (aktif), maka ia disebut “sadis”, sedangkan jika
ia lebih menikmati perannya sebagai pihak yang disakiti (pasif), maka ia
disebut “masokhis”.[6] Namun ada banyak pula pelaku sadomasokhis ini yang
bergantian dalam hal menyakiti dan yang disakiti secara bergantian demi
merasakan kenikmatan di kedua sisi.
Tentang cinta, tidak ada ketentuan absolut diatasnya. Apa
yang menjadi landasan sempurna dalam menjalin hubungan berpasangan itu melulu soal
menyekapati. Kewajiban bermakna saling jaga dengan sebaik mungkin melalui
tahapan-tahapan indah itu sudah semestinya. Meminimalisir kekerasan tidak
sekedar hitungan untung-rugi dalam hidup berpasangan, terlebih akan ada banyak pembentukkan
diri murni rasio karena berani memilih untuk berpasangan berarti berani menyatukan
dua ragam latar belakang yang ada. Sayangnya, semua tahu akan hal itu.
[1]Morissan. 2013. Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
[2]Ibid.
[3]Ibid.
[4]Wijaya, Andika dan Wida Peace Ananta. 2016. Darurat Kejahatan Seksual. Jakarta: Sinar Grafika
[5]Mengenal Kekerasan dalam Berbagai Jenis Hubungan
Romantis, http://ubaya.ac.id/2014/content/articles_detail/142/Mengenal- Kekerasan-dalam--Berbagai-Jenis-Hubungan-Romantis.html,
diakses pada 20 Maret 2018,
pukul 09.11 wib.
[6]Sadomasokhisme.
https://id.wikipedia.org/wiki/Sadomasokhisme. Diakses
pada 20 Maret 2018, pukul 09.34 wib.