Waktu dan Tempat yang Salah
Siang belum melewati
sepertiganya. Langit tak cukup kuasa menahan hujan untuk tidak turun. Suara
Cholil Mahmud, vokalis Efek Rumah Kaca band asal Jakarta, terus melantunkan
hits Belanja Terus Sampai Mati di headset-ku... Peliknya kehidupan urban... Atas bujukan setan hasrat yang dijebak
zaman...Kita belanja terus sampai mati...
Entah ukurannya yang terlalu besar
ataukah jalan yang memang sempit, bis yang mengantar saya tertatih mencapai tempat
yang ternyata sangat ramai di cuaca sehujan ini. Mobil-mobil berplat seri luar
kota terpakir di sisi jalan. Bulan puasa tetap tidak menyurutkan hasrat
orang-orang untuk berbelanja. Ini lah Sumber Karya Indah, salah satu destinasi
Kota Bogor di kawasan Tajur, Katulampa.
Toko Sepatu menjadi yang pertama saya kunjungi. Bangunan
berlantai dua ini tidak berbeda jauh dengan pusat-pusat perbelanjaan di kota
asalku. Aneka sepatu dan sandal di-display
semenarik mungkin. Berbagai ukuran, berbagai bentuk. Jangan tanya soal harga.
Karena seperti juga coraknya, tak berselisih jauh dengan tempat-tempat lain.
Beberapa menit berkeliling di dalam toko, saya beranjak
menuju bangunan lain di sisi kiri toko pertama. Cukup menyeberang sedikit, saya
sudah berada di dalam toko tas berlantai tiga. Tas-tas di lantai pertama
beragam, mulai dari tas perjalanan sampai tas fashion. Sepertinya SKI memang hanya fokus untuk produk tas dan
sepatu. Karena di lantai kedua bangunan ini, pakaian yang ditawarkan jumlah dan
modelnya sangat sedikit.
Untuk urusan model, produk yang ditawarkan SKI memang
variatif dan fashionable. Seorang pramuniaga mengaku bahwa SKI menjiplak habis bentuk dari merek-merek
ternama. Ia terlihat ragu saat membantah pertanyaan mengenai apakah produk
mereka juga menyertakan logo dari brand
ternama tersebut.
Sejak awal tiba, saya sempat merasakan kekecewaan. Tidak ada
kekhasan yang saya jumpai sesuai informasi yang saya dapat, bahwa kawasan ini
merupakan salah satu sentra kerajinan dan pemasaran tas dan sepatu yang dikenal
secara nasional. Etalase, manekin, konsumer. Semua menjadi satu. Tidak ada
pengrajin yang berkeringat-keringat merajut bahan menjadi tas. tidak ada.
Berdasar informasi dari petugas keamanan toko, pabrik
pembuatan tas hanya berjarak tiga ratus meter dari tempat saya berdiri. Jarum
arloji menunjukan bahwa masih tersisa waktu satu setengah jam dari jadwal berbuka puasa. Cukuplah pikir saya untuk menyambangi pabrik tersebut. Semangat
ini memudar ketika hujan yang sempat berhenti kembali turun dengan intensitas
yang lebih masif. Mempertimbangkan keselamatan buku catatan dan kamera,
saya urungkan niat tersebut dan berkeliling-keliling dalam kebingungan. Hingga
mata saya menangkap sosok itu.
Jilbi, Kenapa Kau Diam Saja?
Namanya Jilbi. Gadis manis itu berdiri dibalik sebuah meja
kecil setinggi dadanya. Di atas meja terdapat buku kecil rekap penjualan. Ia
yang hanya tamatan sekolah dasar sudah dua tahun bekerja di toko tersebut.
Dulunya ia bekerja di salah satu pabrik pembuatan sepatu dengan pemilik yang
sama dengan tokonya sekarang. Ia bekerja setiap hari sejak pukul delapan pagi
hingga lima sore. Pada hari-hari libur, jam kerja ditambah dengan tutup tiga
jam lebih lama. Tentu saja durasi seperti itu adalah hal yang biasa dalam dunia
kerja. Marahnya saya, ia hanya mendapat upah dua puluh ribu rupiah per hari.
Itu pun sudah termasuk uang makan, ongkos, tunjangan kesehatan, bonus, dan
hak-haknya yang lain untuk memenuhi kebutuhan harian yang kian mencekik tatkala
beberapa waktu lalu pemerintah menaikkan bahan bakar minyak. Terjadi kehilangan? Tentu potong upah.
Mungkin, saya adalah manusia “bodoh” pertama yang terlalu
membuang-buang waktu untuk berempati pada si gadis. “Mencari kerja sekarang susah,” jawabnya ketika saya menunjukan kepedihan sekaligus
kekaguman pada kekuatan dan kesabarannya menjalani pekerjaan selama itu—kalau memang tak bisa disebut
eksploitasi.
Di dalam toko, berselang beberapa meter dari si gadis, tak
lagi bisa dihitung berapa banyak gadis-gadis muda modis yang membelanjakan uang
dengan se”enak”nya. Seorang remaja malah
menyatakan bahwa harga tak jadi soal selama ia suka pada sebuah merek. Ada kepuasan
tersendiri ucapnya. Serombongan ibu-ibu yang datang bersama anaknya juga
demikian. Mereka menenteng kantong-kantong plastik besar penuh belanjaan. “Kebanyakan yang berbelanja di
sini adalah kaum perempuan,”
ujar seorang pramuniaga.
Gadis manis penjaga stan, dan gadis-gadis muda konsumer itu
tadi, adalah contoh bagaimana keduanya sama-sama memiliki harapan dalam
menjalani hidup yang konon berakhir bahagia. Satunya berharap kegigihannya
bertahan kelak akan terbayar dengan kenaikan upah, lalu satunya lagi mendamba
pengakuan dari lingkungan sekitar. Dan ini lah dunia kita yang baru:
konsumerisme.
Kita hidup di era kapitalistik dimana dunia kerja dan dunia belanja
adalah sebuah kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Dua-duanya adalah unsur
penyokong bagi kapitalisme itu sendiri. Dan bumbu pelengkapnya adalah televisi,
sehingga siklusnya menjadi; bekerja-menonton televisi-belanja-bekerja-menonton
televisi-belanja. Tidak selalu berurutan, memang. Tapi itulah kenyataan hidup
di dunia yang berisi tawar menawar identitas.
Manusia
memiliki naluri alamiah berupa hasrat memenuhi penjatian diri. Seperti halnya
filosofi shopaholic, para penggila
belanja, bahwa image is everything. Tak
lain karena imej membangun identitas yang bisa mengalahkan segalanya. Karena
citra digambarkan sebagai pengakuan dalam masyarakat konsumerisme. Dan terbangun
lah masyarakat pemuja belanja yang memisahkan relasi antar manusia. Contohnya
gampang saja. Dalam keangkuhan pasar-pasar modern tidak ada tawar-menawar khas
pasar tradisional. Interaksi hanya berlaku bagi jual dan beli. Titik.
Dalam
film dokumenter The New Rulers Of the Worlds garapan John Pilger, tergambar
bagaimana perusahaan-perusahaan multinasional GAP dan Nike mempekerjakan para
pekerja di Indonesia ekstra keras demi upah murah dan standar kerja yang
mengkhawatirkan. Tragisnya, mereka tak mampu membeli produk yang sehari-hari
mereka bikin tersebut. Atau kita bisa melihat sebuah ironi, ketika sebagian
besar masyarakat tidak mampu mengenyam pendidikan, sekolah-sekolah mahal justru
berdirian dengan gagah tanpa rasa takut bersaing dengan kegratisan yang
ditawarkan oleh pemerintah. Baik. Memang betul bahwa secara kualitas, sekolah
milik pemerintah jauh tertinggal. Tapi apa motifnya hanya itu? Tidak juga.
Gengsi turut berperan besar di sini.
Menurut Antropolog UI, Iwan
Mulia, bahwa globalisasi merupakan cita-cita kapitalisme global, yang salah
satu metodenya adalah dengan menebar rasa takut bagi khalayak. Dan ini betul
sekali. Contoh sederhana adalah bagaimana mitos-mitos kecantikan dibangun untuk
memenuhi imaji kaum perempuan, bahkan teror mental. Filosofi tubuh yang ideal
adalah tubuh yang langsing, tinggi, putih dan sebagainya, mendorong kaum hawa
mengonsumsi hal-hal yang dapat mengatasi keminderan.
Khalayak yang telah terasuk, akan
melewati batas-batas konsumsi. Kebutuhan akan dikalahkan oleh keinginan. Dan terciptalah
konsumerisme, yang mengasingkan Jilbi dengan pengunjung toko. Karena di era
liberalisme ekonomi relasi antar manusia tak lagi penting, cuma ada tiga hal
pokok; belanja, belanja dan belanja.
Dan, lagu terus mengalun... Peliknya kehidupan urban... Atas bujukan setan
hasrat yang dijebak zaman...Kita belanja terus sampai mati...