Resensi Film “Hak Atas Lahan adalah Hak Atas Hidup”
Hak atas hidup yang membuat kita terus melawan. Dan yakinlah, kita tidak sendiri...
Apa jadinya, bila suatu hari lahan yang kau punya dirampas pihak lain
hingga kau kehilangan tumpuan hidup keluarga, kehilangan penuh hak dan
peran atasnya? Tentu saja kita akan mencari cara bagaimana merebut
kembali hak-hak tersebut, apapun dan bagaimanapun caranya, bukan?
Demikian
halnya dengan apa yang dilakukan oleh petani-petani Desa Rengas
Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan, yang tervisual dalam film
dokumenter sebagai muara dari inisiasi petani setempat dan komunitas
pemuda lokal. Kesaksian sejumlah petani dalam film berdurasi 43 menit
ini, mengisahkan bagaimana warga Desa Rengas 90 persen menggarap lahan
dan bertumpu hidup turun-temurun di desa dengan menanami berbagai
tanaman pokok; nanas, karet dan padi talang (ladang), sampai akhirnya raksasa rakus itu datang dan merampas semuanya.
Skema Perampasan oleh Raksasa Bernama Korporasi dan Negara
Petani
kini menjadi figuran atas lahan yang dulu mereka punya. Negara dan
korporasi, baik nasional maupun transnasional, merancang skenario
bagaimana perampasan atas lahan-lahan pertanian berlangsung.
Dalam
lembar demi lembar sejarah—yang tidak pernah lelah menuturkan
perjalanan panjang konflik agraria di Indonesia—tertulis bagaimana
penindasan terhadap kaum petani ini berjalan. Perampasan lahan, tak
melulu berarti memindahkan kepemilikan, tapi juga juga secara mendasar
berisi upaya memindah kontrol atas akses terhadap lahan.
Perampasan
ini mewujud dalam bermacam rupa, namun esensinya tetap sama saja;
masyarakat lokal kehilangan kendali dan hak-hak atas lahan yang mereka
punya. Praktik perampasan ini dalam berbagai kasus memberikan gambaran
konspirasi jahat yang sempurna antara negara dan korporasi, yang meminta
tetesan darah masyarakat lokal yang berontak menuntut haknya.
Tahun
1982, PTP XXI.XXII—yang kini bernama PTPN VII Unit Usaha PG Cinta
Manis—hadir dan menjadikan Desa Rengas sebagai salah satu area sasaran
untuk pengembangan produksi tanaman tebu. Tidak tanggung-tanggung, lahan
pertanian seluas 2.386 ha harus beralih fungsi dan kepemilikan secara
total. Dari 4.000 ha lahan, kini hanya bersisa 30 persennya saja.
Desa
Rengas—bersama empat desa di tiga kecamatan; Desa Betung, Lubuk Keliat,
Sonor dan Lubuk Bandung—masuk ke dalam Rayon 6 dari enam wilayah
pengembangan PTPN VII seluas 5.499 ha. Enam rayon ini tersebar di
Kecamatan Rantau Alai, Tanjung Batu, Payaraman, Tanjung Raja, Indralaya,
Lubuk Keliat dan Muara Kuang.
![]() |
Foto: frontpemudarengas@blogspot.com
|
Dari keseluruhan lahan yang dikuasai oleh PTPN VII di Desa Rengas,
sebanyak 1.524 ha tidak melalui proses penggantian rugi sama sekali.
Bahkan dari total lahan seluas 23.000 ha yang dikuasai oleh PTPN VII,
hanya 6.000 ha yang mengantongi sertifikat hak guna usaha. Selebihnya,
ilegal.
Perusahaan milik negara ini melakukan penguasaan
lahan dengan beragam cara. Dari membelinya dengan harga murah, juga
dengan cara-cara kekerasan. Bagi yang mencoba mempertahankan haknya
lantas ditangkapi, dipenjarakan dan diintimidasi bahkan hingga menemui
kematian.
“Karena mempertahankan hak kita itu, bisa
ditahan, dipenjarakan. Lebih dari lima kali orangtua saya dipenjarakan
karena mempertahankan haknya,” kisah Gufri, pemuda Desa Rengas mengenai
penolakan yang dilakukan oleh warga desa, “tapi setiap ada yang bisa
bicara sedikit saja, itu dianggap provokator, ditangkap, dikejar-kejar,
bahkan ada yang sampai meninggal karena bersembunyi terus di dalam
hutan.”
Kasus kekerasan di Rengas merupakan salah satu
kisah perjalanan berdarah perjuangan petani di Indonesia. Ironisnya
sebagian besar menjadi kasus yang terkatung-katung. Setidaknya di tahun
2012, dari 51 kasus agraria di 10 kabupaten, hanya 14 kasus saja yang
baru diselesaikan. Sementara 24 kasus dalam masih dalam proses
penyelesaian, dan 13 kasus sedang berproses melalui jalur hukum.
Selama
tigapuluh tahun kedepannya, demi bertahan hidup, sebagian masyarakat
harus menyabung tenaga menjadi buruh tani atau penyewa lahan ke luar
desa hingga kabupaten lain yang berjarak mencapai belasan kilometer.
Sisanya, menjadi buruh harian lepas di PTPN VII. Dan kau sungguh ingin
tahu berapa besar upahnya? Hanya Rp. 13 ribu per hari!
Semangat dan Solidaritas, Satu Langkah Menuju Kemenangan
Kemiskinan
bukan palang bagi warga untuk terus melakukan aksi-aksi protes.
Semangat dan solidaritas, itu kata kuncinya. Mereka membentuk
kelompok-kelompok kecil yang masing-masing mengumpulkan dana secara
swadaya untuk mendanai aksi-aksi ini.
Perjuangan
warga Rengas ditempuh dengan pelbagai upaya. Melalui jalur hukum, juga
aksi-aksi solidaritas. Selama proses ini berlangsung pula warga Rengas
dikecewakan oleh advokasi baik itu yang dilakukan oleh instansi
pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, yang tentu saja rentan
praktik suap. Dan dari sini warga juga belajar satu hal, bahwa dalam
melakukan suatu gerakan perlawanan tidak harus bergantung pada seorang
pemimpin. Gufri menyatakan bahwa walau tidak ada komando dan tak ada
yang membimbing, upaya perebutan lahan terus berlanjut.
“Pada
Tahun 2009 bangkitlah tokoh-tokoh pemuda, mencoba melakukan suatu
gerakan, walau tak ada komando tak ada yang membimbing, kita mencoba
mengklaim kembali tanah, ” jelas Guffri, “sehingga pemerintah dan aparat
keamanan bingung, siapa pimpinan mereka ini. Tidak ada pimpinan. Setiap
ditanya siapa pimpinan, kami (jawab) tidak punya pimpinan, tidak punya
anggota. Kami anggota, kami pimpinan. Semua orang.”
Kemiskinan
bukan palang bagi warga untuk terus melakukan aksi-aksi protes.
Semangat dan solidaritas, itu kata kuncinya. Mereka membentuk
kelompok-kelompok kecil yang masing-masing mengumpulkan dana secara
swadaya untuk mendanai aksi-aksi ini. Dana yang terkumpul dimanfaatkan
untuk membeli logistik juga menyewa bis menuju Kota Palembang sebagai
lokasi sentral berunjuk rasa. Bisakah kau bayangkan bagaimana mereka
harus berada di dua persimpangan, antara perjuangan dan himpitan
ekonomi?
Kekuatan yang semakin besar ini rupanya mengusik
si raksasa. Pada 4 Desember 2009, sekelompok satgas PTPN VII bersama
aparat brimob Mapolda Sumsel melakukan pembongkaran terhadap pondok dan
patok-patok yang dibuat oleh warga yang sebelumnya mulai melakukan recaiming.
Warga yang berdatangan ke lokasi disambut lontaran peluru tajam dari
bedil aparat. Korban berjatuhan. 20 petani terluka tembak.
Intimidasi yang memakan korban bukan akhir dari perjuangan. Bukan malah menyurut, perlawanan kian menjadi-jadi. Rally demonstrasi
berjalan kian masif. Semangat dikobarkan juga oleh mereka yang
tertangkap. Semangat yang disuarakan dari balik kekejian penjara.
Aksi-aksi
perlawanan yang dilakukan warga Rengas melalui jalur hukum, aksi
solidaritas, mematok lahan-lahan milik PTPN VII, pemblokadean akses
jalan vital armada perusahaan, dan bentuk-bentuk lain yang memakan
korban jiwa tidak lah sia-sia. 29 Desember 2009, Badan Pertanahan
Nasional mengeluarkan pernyataan tertulis bahwa areal lahan PTPN VII
tidak memiliki izin hak guna usaha, yang artinya perusahaan ini telah
beroperasi secara ilegal selama kurun 27 tahun.
Tentunya
ini merupakan kabar gembira bagi petani Rengas serta menjadi inspirasi
dan penyemangat bagi desa-desa lain yang hingga kini masih berjuang
merebut kembali haknya dari cengkeraman tirani agraria. Menyimak
solidaritas perjuangan petani Rengas mempertebal kesadaran kita, bahwa
bahwa kita tidak pernah sendiri, dan bagaimanapun perjuangan atas lahan
dan atas berbagai sendi kehidupan masih harus terus berlanjut, bahkan,
“...sampai tetes darah terakhir,” tegas petani perempuan Desa Rengas di
penghujung film.
Di Hadapan Layar Monitor
Apapun
medianya, perjuangan harus terus berlanjut, seperti mengutip perkataan
feminis populer Ani DiFranco, bahwa setiap benda (hal) bisa menjadi
senjata bila digunakan dengan tepat. Demikian pula dengan sebuah film,
dalam hal ini sebagai media penyampai gagasan. Masyarakat kita
dibesarkan di era televisi, sehingga mengemas ide ke dalam sebuah
tontonan menjadi layak untuk coba dihadirkan ke hadapan masyarakat
tontonan tersebut. Perihal diterima atau tidaknya oleh khalayak adalah
perkara lain. Bukankah kita percaya bahwa “menjinakkan” pola pikir massa
yang bebal oleh asupan televisi tadi tentu membutuhkan waktu yang tidak
sebentar, membutuhkan energi yang tidak sedikit.
Merangkum
perjuangan melawan penindasan yang telah berlangsung puluhan tahun
dalam sebuah film bedurasi kurang dari dua jam sepertinya sulit untuk
dilakukan. Data, data, dan data, menjadi hal yang sangat penting.
Beberapa cara kami jalani secara estafet di beberapa lokasi kejadian.
Kendala-kendala
teknis terkait keterbatasan teknologi dapat diatasi meski membuat
proses pengeditan sempat terkatung-katung. Kolase scene dari
waktu yang berbeda membuat komposisi dalam film ini terlihat cukup
kontras. Demikian juga yang terjadi dengan volume beberapa percakapan
yang sulit ditangkap indera bila tak cermat. Persoalan ini membuat kami
kembali meyakini satu hal, bahwa tanpa proses, tak akan ada hasil yang
kelak dituai. Maka, lakukan apa yang dapat kau lakukan. Salam.
Panjang umur kaum tani, panjang umur perlawanan, panjang umur solidaritas!
Judul : Hak Atas Lahan adalah Hak Atas Hidup
Durasi : 43 menit
Produksi : 2012-2013
Distribusi : Sangkakalam
Teks : Dewa Made Karang
Teks : Dewa Made Karang