![]() |
Oleh Moehammad Setiawan |
Tulisan ini kami sadur atas izin Metamorphoo langsung, seharusnya diposting terlebih dahulu di blog mereka, karena blog mereka sedang perbaikan. Kami inisiasi posting di sini terlebih dahulu. Catatan ini adalah notulen personal dari salahsatu buruh kami yang hadir di kelas Hari Perempuan Metamorphoo Maret lalu. -- Redaksi.
Buruknya
terjebak dalam berbagai rentetan rutinitas adalah salahsatunya sering lupa pada
momen-momen tahunan. Saya hampir lupa kemarin dengan hari Perempuan Sedunia,
itu diperingati kawan-kawan tiap tahun, kawan-kawan lain di kelompok luar
lingkar selalu tak ketinggalan, pematok ingat saya adalah mereka, tapi itu
kadang sudah mepet pun, beberapa hari sebelum. Di lingkar terdekat, beberapa
tahun terakhir ada kelompok perempuan Metamorphoo, mereka yang jadi ambil
bagian penuh pada peringatan tahunan ini. Begitu pun tahun ini, mereka
mengemasnya sangat berani walau dengan berbagai keterbatasan, memperingatinya
dengan rangkaian pameran dan kelas 1 minggu penuh. Walau memang tak tepat pada
tanggal yang persis, tahun ini mereka menorehkan warna baru pada pengulangan.
Saya dan
beberapa kawan terdekat sudah mulai menyepakati momen tahunan seperti ini
sebagai peringatan, tak pernah lagi menyebutnya perayaan sejak parade penolakan
harga minyak terakhir memenuhi sudirman, mengancam McDonald. Jika memang
disebut perayaan, apa pula yang dirayakan, jika ada pilihan, mencatat kekalahan
dengan keras toh lebih relevan dibanding terjebak di perayaan-perayaan kecil
kemenangan. Beda konteks, beda variabel. Mewakili semua momen, kenapa
peringatan adalah kata yang tepat tak lain dan tak bukan jika memang ada yang
harus diingat, ketimbang dirayakan. Apa yang terjadi hari ini berpuluh tahun
silam dan akhirnya menjadikannya perlu diingat. Tonggak sejarah apa, tapak
sejarah yang bagaimana. Semenjak memang melawan lupa menjadi begitu konkrit.
Saya kaget
kemarin melihat draft yang dikirim kawan-kawan Metamorphoo untuk kegiatannya,
terutama rangkaian kelas di hari pertama pembukaan pameran. Sudah lama tak
pernah sepadat ini. Pengisi dari medium, latarbelakang dan fokus kerja beragam.
ini menjadi menarik, mewartakan jika memang apa yang dialami benar juga dialami
sama oleh lainnya. Salahsatu yang agak benar-benar menarik perhatian untuk saya
sendiri adalah kelas anarkis feminis, diisi oleh sahabat mereka dari Jakarta,
mewakili Resister Jakarta. Menarik. Bodoh jika melewatkannya langsung pikir
saya.
Anarkisme
begitu populer terakhiran, setidaknya populer lagi. Itu yang saya liat dari
berbagai gejolak gariswaktu baik daring ataupun luring. Menjadi moda perlawanan
alternatif lagi gerakan muda yang menggebu-gebu. Menempatkannya kembali dalam
bentuk kekerenan yang hakiki. Memang dari perkembangannya selalu begitu, tapi
memang ada satu kekosongan kemarin saya rasa, saya bisa salah. Satu kekosongan
intensitas diskursus tentang anarkisme ini meredup, sebelum sampai akhirnya
mencuat lagi seperti sekarang. Perkara pemahaman, internet jadi gerbong utama
jika pemahaman ini seharusnya bisa lebih didalami dari generasi sebelumnya,
akses internet yang begitu mudah dan luas sebenarnya bisa menjadi katalis
pemerataan informasi akan ini, bukan? Di permukaan terluar pun senada,
penerbitan ulang dan penulisan ide-ide anarkisme semakin berkembang di
Indonesia terakhiran. Walau masih tetap belom ada produk-produk terbitan
sebernas angkatan Tim Kontinum dan Tim Apokalips. SEKAM yang hadir tahun lalu
dari Hari Buruh Bandung juga menjadi letupan menyenangkan, Bandung memang
benar-benar tau caranya regenerasi. Membuktikan jika tak cukup hanya dibebaskan
informasi atas itu, pembekalan dari generasi ke generasi secara organik jauh
lebih jelas. Anarkisme kembali menjadi oase dari buntunya sebuah bentuk gerakan
dan ide-ide perlawanan. Selalu.
Pagi itu
rada kesiangan, sialnya Kelas Anarkis Feminis Metamorphoo di hari pertama
peringatan Hari Perempuan mereka dimulai pagi, sangat pagi malah untuk ukuran
yang selalu bangun setelah jam 9. Mereka akan mulai jam 10, sekitar jam 11
mungkin jika ngaret. Karena pemateri, yang kebetulan mampir ke Palembang harus
mengejar pesawatnya pukul 2 siang balik ke Jakarta. Pagi itu, alasan untu kembali
gerak sepagi mungkin jadi begitu kuat. Walau tetep kesiangan, tapi tetap
terkejar. Sampai di space pukul 10, menunggu pemateri datang dan beberapa kawan
yang sedang dijalan, sekumpulnya, tak banyak pagi itu, mungkin sekitar 10-15
orang, sesuai tebakan kelas mulai pukul 11.
Pemateri
adalah Safina Maulida, di hari itu dalam kelas dia berdiri mewakili Resister
Indonesia, kelompok ekofeminis berbasis pusat di Jakarta bergerak dengan
korelasi keadilan perempuan dan lingkungan tentu. Pada hampir akhir kelas,
Safina Maulida (selanjutnya dipanggil Fina dalam tulisan ini) menjelaskan
keterkaitan dari gelombang feminisme yang akhirnya melatar belakangi Resister
Indonesia ini sendiri.
Fina membuka
kelas dengan pertanyaan pemantik sederhana: Anarkisme yang bagaimana yang
diketahui partisipan kelas? Selain memang guna menyamakan persepsi sebelum
sampai ke tahap selanjutnya, ini juga memancing persepsi kawan-kawan apa yang
dipahami selama ini untuk bisa di elaborasi ulang. Ada yang menjawab sebagai
bentuk anti-negara secara frontal, ada yang menjawab sebagai ide yang muncul
dari hasil pertentangan bagaimana Marx dan Bakunin mendefinisikan revolusi.
Dengan
menarik anarkisme dari sumber utama Emma Goldman, menyamakan jembatan atas
pemahaman anarkisme sebagai bentuk cinta. Jembatan ini sebagai argumen awal
kelas untuk dipahami terlebih dahulu sebelum lebih jauh.
Di buku
terjemahan Emma Goldman “Ini Bukan Revolusiku” terbitan Pustaka Catut, bukan
alasan ketaktersengajaan ketika menemukan 150 lebih kata “cinta” dalam 12 Essai
yang diterjemahkan. Yang hampir setengahnya menumpuk di 3 Essai terakhir: (1)
Tragedi Emansipasi Perempuan; (2) Cinta dan Pernikahan; (3) Cemburu: Penyebab
dan Kemungkinan Sembuh. Emma memang membicarakan banyak hal di sekitaran Cinta,
Seks dan Pernikahan. Kecintaan dia pada kebebasan, kritik keras yang tak
terbantahkan dia atas pernikahan.
Hasrat
memberontak atas semua sistem yang timpang muncul dari Cinta itu sendiri, cinta
akan kebebasan, cinta akan harapan dunia yang lebih baik. Atau sebaliknya,
mengutip pengantar bukunya oleh Peter Marshall: “Kesulitan-kesulitan pada masa
mudanya itulah, yang mengasah kepekaannya terhadap situasi ketidakadilan dan
mengilhami hasrat cintanya pada kebebasan.”.
Memahami
cinta pada kebebasan sebagai dorongan paling universal, pengalaman Cinta
Bebas-nya bersama Berkman juga jadi latarbelakang kenapa Emma berkutat keras
dengan pintu masuk ini. Lewat pembacaan Cinta atas Pernikahan, Emma juga punya
kritik tajam terhadap otoritas negara, menggambarkan upaya negara untuk
mencampuri otoritas paling personal, pilihan paling personal; “Manakala cinta
telah lahir sebagai pendorong yang paling kuat dalam mendobrak sekumpulan adat
yang mengikat, perkawinan justru malah melayani kepentingan negara dan gereja
dengan memberinya kesempatan untuk mencampuri urusan-urusan kita yang paling
pribadi.”
Emma pada
Cinta, Kebebasan dan Berkman dan ajakannya melawan lewat menari menjadi lanskap
awal kelas pagi itu. Memahami lebih dalam kutipan Emma Goldman paling populer,
jika menari bukan hanya sebagai idiom untuk mengingkatan jika ada bentuk
perlawanan lain yang memang kuat: melawan dengan penuh cinta.
Menjawab beberapa
hal bagaimana perlawanan selalu diinterprentasikan dengan kebencian, benci atas
ini, itu, sana dan sini. Lewat Emma perspektif Cinta jauh lebih menyenangkan
ternyata.
Selain
free-love, self-love punya eleborasi cukup dominan pagi itu. Self-conscious,
self-love, dan self-empower, mengulas kembali perbedaannya atas self-peratuatuion
dan selfish/individualist. Otoritas penuh atas tubuh akan muncul dari
persinggungan ketiga hal itu tanpa menjadi kedua lainnya. Mencatat kembali jika
kekuatan yang paling fundamental memang harus berasal dari diri sendiri.
Bertautan pada bagaimana anarkisme memang menekan semua emosi, kecuali rasa
takut. Selanjutnya, Self-empowernment menjadi lebih relevan.
Sisa kelas
disusul oleh berbagai materi & informasi merunut waktu perkembangan gerakan
feminis, tak ketinggalan tiga gelombang besar feminisme, dari Radikal,
Eksistensialis sampai Eko-feminis. Gelombang terakhir yang lebih menghidupi
lagi kenyataan akan kedekatan perempuam dan Alam, perempuan sebagai penjaga
Alam yang akhirnya menjadi latar belakang Resister Indonesia. Mengutip apa yang
dikatakan Fina, melihat lagi dengan detail jika 1 sedotan yang digunakan itu
akan berdampak bertahun mendatang atas
kehidupan pulau lain, memahami jika plastik tak pernah berdiri sendiri, ia akan
jadi pemicu kerusakan lain di masa depan. Di atas itu semua, mereka bersepakat
membentuk Resister Indonesia. Bagaimana juga interseksionalisme juga jadi
pijakan mereka menjawab generalisir masalah perkara patriarki dan dominasi.
Melihat kekhususan-kekhususan itu jauh lebih detail.
Tak
ketinggalan, pemetaan teoritis atas konflik. Menyertakan juga poin pengingat,
yang jika saya kutip langsung, “about how humanism of freedom, is not a piece
of cake: if you share it, you’ll get less of it. About how authority, is not a
piece of shit: if you throw it, you’ll proces it again anyway.”
Kelas
berakhir, menyisahkan pertanyaan-pertanyaan atas jawaban-jawaban yang baru
ditemukan. Membicarakan ini semua memang tak pernah cukup 1 kali pertemuan dan
juga tak akan berkesan tanpa penerapan. Proses dan kesinambungan selanjutnya
tentu jadi selanjutnya pertanyaan. Tapi jika itu memang yang terjadi, berarti
kelas memang berjalan dengan baik, karena jika saya tak salah jawaban dari
setiap pertanyaan tentu adalah pertanyaan (baru).